Artikel
|
Artikel
|
(Tulungagung) Pada sekira akhir abad ke-19 silam, perbudakan bangsa Afrika dihapuskan. Untuk mengisi pekerja di perkebunan yang kosong, Belanda yang saat itu menjajah Nusantara membawa orang-orang Jawa ke tanah jauh, Suriname. Mereka dipekerjakan sebagai kuli kontrak. Ada yang datang sukarela, ada juga yang dipaksa dengan cara diculik dari desa-desa.
Orang keturunan Jawa tersebut kemudian menyebar di Suriname, beranak pinak. Tanpa menanggalkan budaya aslinya: Jawa. Maka tak heran ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Menurut catatan, ada 65.000 orang di Suriname dan 30.000 di Belanda yang menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.
Segala hal tentang Jawa pun kemudian berlanjut seiring bertambahnya populasi orang Jawa dan keturunannya di Suriname. Dan selain budaya, wong Jawa di Suriname juga masih memeluk agama asal mereka, Islam. Salah satu orang Jawa Suriname bahkan mendedikasikan diri untuk menyebarkan Islam. Namanya Soedirman Moentari yang kini tinggal di Den Haag - Belanda.
(Tulungagung) Selama ini, banyak peneliti khususnya antropolog yang mencoba menyatakan bahwa Islam dan Jawa adalah dua budaya yang saling bertentangan dan berkompetisi. Beberapa fakta sejarah menunjukkan konflik antara keduanya. Hal itu menjadi tantangan akulturasi antara Islam dan Jawa. Demikian disampaikan Akhol Firdaus, Direktur Institut Transvaluasi untuk Pengembangan Filsafat dan Agama, pada Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan, Selasa (31/3) malam. Diskusi yang diselenggarakan oleh Institut Transvaluasi ini mengundang Dr. Teguh, M.Ag. untuk mempresentasikan disertasinya “Moral Islam dalam Lakon Bima Suci” dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen dan civitas academica IAIN Tulungagung.
Menjawab tantangan di atas, Dr. Teguh, M.Ag. justru menegaskan bahwa terdapat nilai moral keislaman yang sangat kaya ditemukan dalam Ajaran Jawa, khususnya pewayangan. Salah satunya adalah cerita tentang Bima Suci, kisah yang digubah oleh Walisongo dari Lakon Nawa Ruci India. Kisah tersebut dikenal dengan Lakon Dewa Ruci pada masa Kerajaan Demak, dan kemudian berkembang menjadi Lakon Bima Suci pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Bima disimbolkan sebagai salah satu rukun Islam, yakni menjalankan shalat lima waktu sebagai tiang utama agama Islam. Adapun pertemuaan Bima dengan Dewa Ruci, adalah simbol dari ittihad, yang oleh Ibnu ‘Arabi dijelaskan sebagai kondisi dimana manusia mampu sampai pada Tuhannya dengan cara menjalankan Syariat Tuhan.