Jumat, 10 April 2015 16:03
Print

(Tulungagung) Pada sekira akhir abad ke-19 silam, perbudakan bangsa Afrika dihapuskan. Untuk mengisi pekerja di perkebunan yang kosong, Belanda yang saat itu menjajah Nusantara membawa orang-orang Jawa ke tanah jauh, Suriname. Mereka dipekerjakan sebagai kuli kontrak. Ada yang datang sukarela, ada juga yang dipaksa dengan cara diculik dari desa-desa.

Orang keturunan Jawa tersebut kemudian menyebar di Suriname, beranak pinak. Tanpa menanggalkan budaya aslinya: Jawa.  Maka tak heran ada desa bernama Tamanredjo dan Tamansari. Menurut catatan, ada 65.000 orang di Suriname dan 30.000 di Belanda yang menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari.

Segala hal tentang Jawa pun kemudian berlanjut seiring bertambahnya populasi orang Jawa dan keturunannya di Suriname. Dan selain budaya, wong Jawa di Suriname juga masih memeluk agama asal mereka, Islam. Salah satu orang Jawa Suriname bahkan mendedikasikan diri untuk menyebarkan Islam. Namanya Soedirman Moentari yang kini tinggal di Den Haag - Belanda.

Soedirman Moentari yang datang ke tanah Jawa dalam rangka napak tilas asal usul kakeknya dari Desa Krekep Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri pun bercerita mengenai kegiatannya dalam penyebaran Islam di Suriname. Dalam acara Sarasehan Boedoyo yang diselenggarakan oleh IAIN Tulungagung pagi ini, 10 Maret 2015 serta dihadiri oleh sivitas akademika IAIN Tulungagung di Aula Lantai 3 Gedung Rektorat, beliau mengisahkan tentang perjuangannya.

Dipaparkan oleh Soedirman Moentari bahwa sebenarnya dulu banyak orang Islam terutama keturunan Jawa di Suriname. Namun lambat laun semakin berkurang karena beberapa hal, termasuk kurangnya perhatian terhadap Pendidikan Islam di Suriname.

“Perjuangan dakwahnya dimulai dari aktif di SIS, sebuah organisasi Islam di Suriname. "Saya membantu pendidikan Islam dengan membuat booklet. Waktu itu tidak ada komputer, internet dan semua inovasi seperti saat ini," kata Soedirman Moentari.

Menurut Soedirman Moentari, hal tersebut dilakukan untuk mempermudah para generasi keturunan Jawa untuk bisa belajar agama, misalnya cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar. Cara tersebut terpaksa harus ditempuh, karena memang tak banyak dari orang-orang tua keturunan Jawa yang mengajarkan Islam secara maksimal.

“Jadi tidak seperti di Tulungagung ini, di mana banyak kyai dan ustadz yang mengajarkan ilmu agama Islam bagi anak-anak”, jelas Suedirman Moentari.

Namun dengan adanya perkembangan zaman yang memasuki era digital, akhirnya Soedirman Moentari pun mulai mengembangkan Al-Qur’an Digital yang mana dilengkapi dengan audio visual yang bisa digunakan oleh orang-orang keturunan Jawa di Suriname yang hendak mempelajari agama Islam lebih mendalam. Sehingga agama Islam yang merupakan agama nenek moyang orang Jawa di Suriname tak hilang ditelan zaman.

“Dulu kalau ada orang keturunan Jawa yang tidak Islam bisa disebut bukan orang Jawa. Dan setelah saya pensiun saya berniat memperjuangkan agama Islam terutama bagi keturunan Jawa di Suriname. Meski tanpa ada imbalan sedikit pun dan dengan tantangan yang ada. Karena saya ingin Islam tetap ada di Suriname”, pungkas Soedirman Moentari yang tak lain merupakan pensiunan dosen di sebuah Universitas Terkemuka di Belanda, Wageningen University. (humas)