Rabu, 17 Mei 2017 14:40
Print

PSGA LP2M IAIN Tulungagung Gelar Workshop Penelitian Perspektif Gender

 

Hari Jumat (13/5/2017) pagi, sejak pukul 08.00 WIB, sejumlah dosen IAIN Tulungagung sudah memadati meeting hall lantai satu Crown Victoria Hotel Tulungagung. Antusias mereka kali ini dalam rangka mengikutiWorkshop Penguatan Metodologi Penelitian Perspektif Gender yang dihelat oleh Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Tulungagung selama dua hari berturut-turut (12-13/5/2017). Maklum, sebab workshop kali ini mendatangkan dua narasumber yang kapasitasnya sudah diakui tidak hanya nasional tapi juga internasional. Narasumber yang pertama adalah Prof. Irwan Abdullah, Ph.D., dan yang kedua adalah Anis Masykhur, M.A.

Acara dimulai dengan pembukaan yang disampaikan oleh Dr. Mashudi., M.Pd.I., selaku ketua LP2M IAIN Tulungagung. Dalam sambutannya, beliau pertama-tama mengapresiasi atas terselenggaranya acara dan antusias peserta. Kemudian, beliau menghimbau agar output dari workshop bisa menambah perspektif baru bagi para dosen di lingkungan IAIN Tulungagung khususnya tentang riset berbasis gender.

Setelah seremoni pembukaan usai, sesi materi pertama dimulai. Dalam hal ini, Prof. Irwan didapuk menjadi narasumber pertama. Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) itu, memulai dengan membuka cakrawala tentang eksistensi jurnal internasional terindeks Scopus yang bisa dijadikan sasaran pengiriman naskah-naskah penelitian berperspektif gender. Setidaknya ada 115 jurnal internasional yang beliau paparkan mulai dari rank yang paling atas sampai terbawah, di antaranya, jurnal Gender and Society, Biology of Sex Differences, Psychology of Men and Masculinity, dst.

Beliau kemudian melanjutkan dengan memaparkan lima tema besar yang menarik untuk diteliti:Gender, Sejarah & Memori Kultural, Feminist Theory, Politics & Activism, Sexuality & Culture, Identities & Diversity, Women, Culture & Society. Namun yang penting, lanjutnya, penelitian gender tidak boleh hanya berkutat pada penuntutan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki karena itu sudah terlalu banyak yang mengkaji. “Seorang peneliti gender, harus mampu melampaui itu, ia harus bisa mengungkap, misalnya adanya relasi kuasa, sosial, politik, dan agama yang berjalin-kelindan melingkupinya,” papar Guru Besar jebolan Universitas Amsterdam yang sudah melanglang buana ke mancanegara itu.

Yang tak kalah menarik, Prof. Irwan tidak hanya menyodorkan seabrek teori yang beliau kuasai, melainkan juga mengajak peserta praktik langsung bagaimana caranya membuat proposal desain riset yang baik, benar dan “seksi”.  Menurutnya, selain pemilihan isu yang seksi, seorang peneliti harus cakap meramu judul yang memikat. Sebab yang ditilik pertama kali oleh pembaca atau reviewer adalah judulnya. Beliau lantas membelejeti satu persatu desain riset mulai dari pendahuluan, perangkat metodologi, sampai dengan kesimpulan. Peserta tampak tercengang dengan hal ihwal baru dan kekeliruan-kekeliruan terkait theoretical framework yang sudah dianggap lazim selama ini.

Di akhir, dosen senior yang pernah menahkodai Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM tersebut menegaskan bahwa modal utama seorang peneliti adalah bahan bacaan yang luas dan menyisihkan sedikit waktu. “Dengan bacaan yang luas, kita bisa menjadi seorang yang expert dalam berbagai bidang, bahkan menyelesaikan tulisan dalam satu malam. Kuncinya, Anda harus rela mengurangi jam tidur, minimal satu jam saja setiap hari,” pungkasnya mantab.

Kemudian di sesi berikutnya, di hari terakhir, giliran Anis Masykhur, M.A., menyampaikan materi. Beliau memulai dengan mengatakan bahwa penelitian yang selama ini dilakukan cenderung sebatas sebagai penelitian. Tidak ada perubahan setelah penelitian. Padahal penelitian seharusnya ada pembelaan, khususnya terhadap perempuan. Karena itulah perlu ruang khusus penelitian perspektif gender yang ujungnya adalah perubahan.

Penelitian, lanjut Anis Masykhur, selaku Kasi Penelitian Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag, memang seharusnya tidak sekadar penelitian. Untuk mewujudkannya memang membutuhkan proses penelitian yang berkali-kali. Dan penelitian-penelitian yang ada sekarang ini memiliki berbagai aspek yang penting untuk dikritisi. Menurutnya, ada beberapa kritik yang bisa diberikan: androsentris, overgeneralisasi, berstandar ganda, dikotomisasi jenis kelamin, dan tidak sensitif gender.

Anis Masykhur juga menekankan mengenai pentingnya PSGA dan PSW memiliki database tentang kondisi perempuan di kampus dan lingkungan sekitarnya. “Data-data tentang dosen yang pernah ikut kursus sensitif gender, buku-buku yang berbicara perempuan, dan data-data tentang perempuan lainnya seharusnya dimiliki sebagai titik pijak awal (strating point) untuk membangun penelitian perspektif gender,” paparnya.

Selain itu, beliau juga menguraikan secara detail terkait paradigma penelitian, studi pendahuluan, metodologi, hingga analisa data dalam desain riset. Penjelasan yang diberikan diharapkan memberikan wawasan kepada para peserta mengenai bagaimana desain penelitian perspektif gender baik dan benar. Sebagai pamungkas, beliau mengajak semua peserta untuk mendesain riset tidak sekadar sebagai riset semata. Laporan riset juga perlu memikirkan tentang diseminasi untuk artikel jurnal, khususnya jurnal terakreditasi dan jurnal internasional bereputasi.

Acara kemudian ditutup oleh Dr. Mashudi, M.Pd.I., dan diakhiri dengan melatunkan “shalawat keadilan (musawa)” secara bersama-sama sebagai pemantik komitmen para dosen dalam mengembangkan studi perempuan dan gender. (naim/saiful).