Di kampus-kampus perguruan tinggi Keagamaan Islam (PTKI), sedang digalakkan alih status dari perguruan tinggi masing-masing. Yang kemarin sekolah tinggi menjadi Institut, yang kemarin Institut menjadi Universitas Islam Negeri. Peralihan status ini diuapayakan sebagai usaha untuk meningkatkan daya saing, kualitas sistem dan kelembagaan. Tetapi yang harus diingat bagi PTKI sekarang adalah mengembalikan semangat keilmuan atau akademik yang dimiliki oleh kampus-kampus beratribut Islam pada masa kejayaan (Golden Age). Di mana pada masa itulah Islam dari sisi politik, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan berada dalam posisi di depan, sebagai entitas yang dapat mewarnai dan berperan dalam membangun peradaban dunia. Salah satu faktor yang menyumbang kepada kecemerlangan peradaban suatu bangsa ialah budaya mengkaji, menulis dan menterjemah karya-karya agung dari khazanah peradaban dunia untuk dikongsi bersama seluruh masyarakat.
Praktik ini dapat dibaca dari kecemerlangan yang dicapai oleh peradaban Yunani yang memiliki ahli-ahli falsafah tersohor dan masih dikenali oleh manusia hingga hari ini. Sebut saja nama-nama seperti Aristoteles, Plato dan Socrates, pasti kebanyakan kita pernah mendengar nama mereka. Walaupun mereka sudah beribu-ribu tahun hidup sebelum kita, namun khazanah peninggalan mereka melalui karya-karya tulisan mereka masih dibaca dan dikaji dari satu generasi ke generasi yang lain.
Kekayaan khazanah karya melalui usaha penulisan dan penterjemahan ini menyumbang kepada tumbuhnya pusat-pusat ilmu serta perpustakaan-perpustakaan agung dunia. Seperti apa yang terdapat di kota Iskandariah di zaman Ptolemi Mesir purba, Jundishapur di bumi Parsi dan Baitul Hikmah di kota Baghdad. Kemunculan tiga kota ini sebagai kota ilmu di era masing-masing banyak dipengaruhi oleh budaya mengkaji ilmu serta mencatat dan mendokumentasikan segala penemuan penelitian mereka. Segala penulisan dan dokumen ini seterusnya akan disimpan, dipelihara dan dipelihara dengan baik di perpustakaan-perpustakaan yang hingga kini masih menjadi sumber rujukan primer buat para pengkaji. Kemunculan kota Baghdad sebagai pusat ilmu dunia di zaman kerajaan Abbasiah banyak dipengaruhi oleh sikap cinta ilmu di kalangan pemerintahnya yang ditunjukkan melalui dorongan dan sokongan mereka terhadap gerakan pengkajian dan penterjemahan karya-karya agung terdahulu dari tamadun (peradaban) Yunani, Parsi, Hindi dan Cina khususnya dalam bidang sains, falsafah, ketabiban, astronomi, kimia dan matematik.
Rangkaian tiga khalifah Abbasiah tersohor, al-Mansur, Harun al-Rasyid, dan al-Ma'mun telah menggalakkan kepada para ilmuwan dan cerdik pandai melalui penyediaan prasarana kondusif serta bantuan servive yang menarik minat para sarjana dari berbagai bangsa dan agama. Maka berdiri megah Baitul Hikmah sebagai pusat kecemerlangan ilmu dan perpustakaan agung Islam yang menghimpunkan karya-karya agung hasil dari penyelidikan yang dijalankan oleh para sarjana dari seantero dunia.Usaha penterjemahan karya agung dari tamadun-tamadun terdahulu sekaligus telah meletakkan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dunia dan dengan demikian telah memberi peluang kepada umat Islam mendekati karya-karya ini, mengharmonikan falsafah-falsafah ilmu yang terdapat dalam peradaban ini dengan ajaran agama Islam. Maka lahirlah para ilmuwan Islam yang bukan sekadar alim dalam ilmu fardhu ‘ain, mereka juga arif tentang ilmu-ilmu fardhu kifayah. Nama-nama seperti al-Farabi, al-Biruni, al-Kindi, al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rusyd mewakili ilmuwan Islam yang mahir dalam ilmu agama dan pakar dalam ilmu profesional masing-masing. Kehebatan mereka tidak sekadar pada ilmu yang ada di dada, malah mereka memperturunkan ilmu mereka melalui pelbagai penulisan kitab yang menjadi khazanah ilmu buat umat Islam hingga ke hari ini. Malah karya mereka telah dimanfaatkan oleh bangsa Eropa sehingga muncul sebagai bangsa yang menguasai ilmu dewasa ini.
Dengan mengambil i’tibar dari budaya ilmu yang terdapat pada Baitul Hikmah, bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya karya-karya agung dunia harus diterjemahkan untuk tatapan bangsa mereka. Dengan demikian, mereka telah mengulangi usaha yang telah dilaksanakan oleh khalifah-khalifah Abbasiah melalui gerakan penterjemahan karya-karya agung Islam akhirnya mengalahkan kerajaan Islam Andalusia di Sepanyol. Melalui sekolah penterjemahan di Toledo yang menghimpunkan para sarjana Barat, gerakan penterjemahan karya-karya agung Islam ke dalam bahasa Latin dilancarkan. Manuskrip-manuskrip Islam yang terdapat di pelbagai perpustakaan di dunia Islam dikaji dan diterjemahkan oleh para ilmuwan mereka sehingga kitab suci al-Quran turut diterjemahkan buat pertama kalinya ke dalam bahasa Latin. Manuskrip terjemahan ini dikatakan masih terpelihara dengan baik di perpustakaan kota Vatican. Usaha sekolah Toledo ini telah berhasil menterjemahkan sebagian besar karya-karya agung Islam dan dengan sendirinya telah membantu para sarjana Barat mengenali Islam dengan lebih mendalam sehingga munculah kumpulan pakar dan disiplin ilmu pengajian dunia Timur yang dikenali sebagai Orientalist dan Oriental Studies.
Kemunculan kumpulan Orientalist yang terdiri berbagai bangsa dunia Barat melanjutkan lagi usaha penterjemahan dan penyaduran karya-karya agung Islam ke dalam bahasa resmi Negara mereka. Dengan demikian, kita dapat melihat betapa karya-karya agung Islam telah diterjemahkan ke dalam bahasa utama dunia Barat bermula dengan bahasa Jerman, Perancis, Italia, Sepanyol, Belanda dan Inggris. Manakala tumbuhnya pengajian Timur atau Oriental Studies membantu dunia Barat mempercepatkan usaha mereka menguasai ilmu Islam. Kali ini mereka tidak sendirian apabila melibatkan para mahasiswa yang melanjutkan pengajian sarjana di bawah pengawasan mereka. Mereka menjadikan aktivititas penterjemahan dan penyaduran karya agung Islam sebagai suatu kaedah dan prasyarat untuk para mahasiswa mendapat segulung ijazah dari universitas-universitas di Barat. Maka tidak heran apabila kita mendapati karya-karya penting dunia Islam dari berbagai disiplin ilmu dan genre sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Barat. Sebut saja karya-karya Islam karangan ilmuwan agung Islam dalam berbagai bidang ilmu-ilmu kalam, tasawuf, fikih, falsafah, sejarah, kesusasteraan, medis, matematik, dengan tak terbatas. Al-Qanun fi al-tib oleh Ibn Sina, Al-Risalah oleh Imam al-Syafii, Ihya' Ulum al-Din dan Tahafut al-Falasifah oleh al-Ghazali, Tahafut al-Tahafut oleh Ibn Rusyd, Kitab al-Tauhid oleh Abu Mansur al-Maturidi, Al-Ibanah an Usul al-Diyanah oleh Abu Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Kharaj oleh Abu Yusuf, Muqaddimah oleh Ibn Khaldun adalah sebagian kecil dari ribuan kitab-kitab muktabar Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat.
Karya-karya ulama dan pemikir kontemporar Islam tidak terlepas dari terjemahan ke dalam bahasa Barat. Sebut saja nama-nama ulama Islam kontemporar seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad al-Ghazali, Muhammad Iqbal, Syah Waliyullah al-Dihlawi, al-Maududi, Syed Qutub, Syibli Nu'mani, Abu Hasan Nadwi, Abdul Rahman Badawi sampai Yusuf al-Qardawi. Sebut apa saja kitab-kitab Islam dari dahulu hingga sekarang pasti ia tersedia untuk rujukan di pelbagai perpustakaan di Eropa dan Amerika Syarikat. Berbalik kepada dunia Islam kini, apakah kita memiliki apa yang sepatutnya menjadi milik kita, dan apakah kita mengusahakan apa yang diusahakan oleh ulama terdahulu ?.
Inilah yang harus disambut oleh para ilmuwan Muslim di Indonesia ini. Semangat mereka dalam melakukan kajian-kajian ilmu-ilmu keislaman jangan sampai redup seiring dengan era modernisasi kapitalisasi. Di Perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi Islam harus tersedia referensi-referensi primer dalam bidang studi keislaman. Jangan sampai insane akademis kita sedang menekuni bidang studi KeIslaman tetapi asing dengan kitab-kitab karya ulama klasik kita. Tidak ada kata terlmabat bagi kita untuk memperbaiki diri, memperkaya khazanah ilmu-ilmu KeIslaman, di samping terus mengejar ketertinggalan dari dunia eropa dan barat! Wa Allahu A’lam bi al-Shawab,