Pada hari Senin, 8 september 2014 kemarin, kita menyaksikan sebuah fenomena yang mungkin jarang terjadi di Perguruan Tinggi tanah air Indonesia. Yakni silaturaahim antara wali mahasiswa dengan pengelola Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung. Ketika menyaksikan dan menghadiri acara ini, penulis teringat kembali dengan tradisi-tradisi Islam, yang mungkin bagi kaum akademisi sedikit terlupakan.
Dalam tradisi Pendidikan Islam klasik, tiga istilah itu dapat kita temui untuk mencerminkan hubungan antara orang yang menimba ilmu untuk sampai kepada Allah (murid), mursyd adalah orang yang memberikan bimbingan kepada murid. Sedangkan wali murid sebenarnya bahasa jawa yang diserap dari dua kata dalam bahasa arab yang berarti adalah orang tua murid. Ketiga orang ini merupakan soko guru dalam tradisi pendidikan dan spiritual Islam. Seorang murid ketika dia sudah memantapkan niyatnya untuk wushul (beribadah kepada Allah), sangat sulit untuk tercapai kepada tujuannya, tanpa bimbingan oleh seorang guru atau disebut mursyid.
Untuk itu biasanya dia akan mendatangi guru yang dianggap mumpuni, sesuai dengan harapan muridnya. Taruhlah diambil contoh para imam-imam besar pada masa awal-awal Islam, seperti Silsilah (transmisi) keilmuan dan keagamaan dalam Islam. Para imam madhhab masa tabi’ al;-tabi’in berguru kepada tabi’in, tabi’I al-tabi’in berguru kepada sahabat, dan sahabat kepada Rasulullah. Hal itu menunjukkan betapa alur keilmuan dalam Islam mempunyai kekuatan otentik dan otoritatif. Maknannya dari sisi sumber ilmu pengetahuan memang di ambil dari orang yang ahli atau mempunyai kemampuan dalam bidangnya. Juga tidak terjadi distorsi informasi ilmu pada masa-masa itu, kalaupun terjadi sangat sedikit sekali, Karena ilmu diambil dari sumbernya.
Dilihat dari perspektif hubungan antara murid dan mursyid, masa dahulu, seorang murid yang sudah berguru kepada mursyidnya, dia akan menyerahkan secara totalitas dirinya, baik lahir maupun bathin kepada mursyidnya itu. Sehingga tidak ada lagi sekat-sekat yang menghalngi hubungan antara keduanya. Apapun yang diajarkan gurunya seorang murid pasti akan menerimannya, dan mengamalkannya secara istiqamah. Kalau perlu ilmu yang dia pahami, dia amalkan kualitasnya bias menyamai gurunya atau bahkan melebihinnya.
Maka tidak jarang akan kita temui pola-pola pengajaran para guru (mursyid) tempo dulu, tidak banyak mengalami bantahan oleh para muridnya. Atau seorang murid tidak banyak yang mempertanyakan ilmu-ilmu yang diterima dari gurunya. Ini dapat dijumpai dalam khazanah islam akan dijumpai seorang guru mengajarkan ilmu kepada muridnya tentang sesuatu hal yang si murid tidak dapat mencerna hikmah dari ilmu yang dia terima, itupun seorang murid tidak berani bertanya. Apa, bagaimana, untuk apa, sebuah ilmu yang diajarkan oleh gurunya itu, seperti terjadi dalam kisah Nabi Musa AS ketika berguru kepada nabi Khidhir, ajaran-ajaran guru thariqah sufi. Dari perspektif etika pembelajaran, memang hubungan guru dan murid seperti yang dipraktekkan para guru, ulama-ulama klasik (mursyid) terkesan monothon, cenderung kepada pasifisme seorang murid sebagai obyek penerima informasi ilmu. Tetapi kenyataan membuktikan ilmu-ilmu keislaman klasik masih dapat eksis dengan thariqah (metode), pola hubungan seperti itu.
Nampaknya kita dapat melihatnya dari sisi positif yang lain dari praktek pengajaran ilmu-ilmu keislaman klasik. Bisa jadi modal hubungan totalitas seorang guru dan murid yang menjadikan sebuah ilmu dapat bermanfaat, berdaya guna, memberikan keberkahan. Artinya seorang guru mengajarkan ilmunya dengan niatan ikhlas, bersikap mengayomi muridnya, menebarkan kasih saying, atau bahkan seorang guru tidak sekedar menganggapnya sebagai santri atau siswanya, tetapi lebih dari itu mereka semua dianggap sebagai anaknya sendiri. Ini mencerminkan hubungan guru kepada muridnya tidak hanya secara lahir tetapi juga hubungan ruhaniyah (kejiwaan), berakhir dengan totalitas sikap dari keduannya. Mungkin pola-pola hubungan seperti itu yang patut kita tiru sebagai murid dan sebagai guru, supaya transfer ilmu pengetahuan tidak hanya bermuara kepada sisi intelektual saja, tetapi juga sisi spiritual dan emosial, yang selama ini sebenarnya sudah didengung-dengungkan oleh pakar-pakar pendidikan modern, demi terwujudnya pendidikan yang berkwalitas.
Dari sini penulis teringat ketika nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo kota Kediri, yang pada waktu itu diasuh oleh al-Maghfurlah KH. Imam Yahya Mahrus. Sebagai ulama yang sehari-hari bergelut dengan pendidikan pesantren salafi, metode pembelajaran yang dia tekuni, persis seperti yang dipraktekkan oleh para salaf al-shalih pendahulunya. Seperti menampilkan diri sebagai figur guru, bapak, teman sebagai tempat curhat. Sehingga tidak jarang dengan sikap semacam itu, sampai-sampai hubungannya dengan para putra-putranya tidak tampak. Yang Dia tampakkan malah hubungannya dengan para santri, murid, dan sekian banyak anak asuhnya itu, yang setiap hari selalu berinteraksi dengannya, untuk mengadukan berbagai problematika yang mereka hadapi. Mulai dari masalah kehabisan bekal, minta rokok, santri yang sakit, wali santri yang sowan, koordinasi pengurus pesantren, sambatan dari pra pengurus Nahdlatul Ulama(NU), partai politik yang minta masukan, calon kepala daerah yang minta doa restu, masalah kebersihan pondok pesantren, keamanan dan seabrek permasalahan ditumpahkan kepadanya. Pernah suatu malam penulis kebetulan bercengkrama dengan al-Maghfurlah,dia berkata “ Le…aku kok sumpek to, wong-wong ki lo akeh sing percoyo karo aku, podo sambat gowo masalah dewe-dewe. Opo enakke aku tak pindah nyang luar Jawa ae yo, ben tentrem nang pikiranku”(Nak Pikiranku kok tidak nyaman, semua orang kok percaya kepada saya kemudian mengadukan semua masalahnya. Apa enaknya saya pindah ke Luar jawa saja supaya hidupku tenang dan tentram).
Cerita itu mengilustrasikan sebuah sikap seorang mursyid yang menebar kasih saying dan mengayomi kepada semua elemen masyarakat, termasuk di dalamnya murid dan wali muridnya. Bahkan semua elemen masyarakat. Tapi penekanan kita di sini adalah belajar menjadi seorang guru yang mempunyai sikap yang total kepada murid-muridnya. Juga sebaliknya seorang murid mempunyai sikap yang secara totalitas menyerahkan dirinya kepada gurunya, agar supaya transfer ilmu pengetahuan yang dilakoni bersama gurunya tidak mendapatkan halangan sama sekali. Apakah halangan itu berupa sikap kesombongan kita, kekurang ikhlasan, kedengkian, dan sifat-sifat tercela lainnya. Kebersihan jiwa juga merupakan modal utama dalam menjalin hubungan dengan seorang guru.
Gambaran hubungan guru dan murid yang saya tulis secara kasar di atas, dapat diekspresikan di perguruan tinggi kita. Mengingat sudah banyak kritik yang dialamatkan ke kampus perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia. Sebagai tempat tumbuh suburnya ilmu-ilmu keIslaman, tetapi menurut para pengkritik, tidak mencerminkan sikap-sikap sebagaimana yang dilakoni oleh para guru sepuh (ulama salaf) dan murid-muridnya. Untuk itu temu Wali Mahasiswa (murid) seperti kemarin dapat menumbuhkan kembali sikap-sikap mulya para salaf al-shalih di kampus kita ini. Sehingga para elemen kampus, mulai dari mahasiswanya sebagai murid, dosen dan pengelola sebagai mursyid, dan wali mahasiswa mendapatkan pencerahan pemikiran, kemudian diekspresikan dalam bentuk hubungan yang utuh (totalitas), demi mencetak kader-kader pejuang Islam yang mewarisi ilmu-ilmu keislaman, dengan metode yang islami pula. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab!