Artikel
|
Artikel
|
Oleh Ngainun Naim
Saya sedang menikmati sebuah buku bermutu karya Prof. A. Qodri Azizy, Ph.D. Buku tersebut berjudul Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman terbitan Aneka Ilmu Semarang tahun 2004. Buku ini memang belum saya baca secara tuntas, tetapi saya sudah menemukan banyak hal berharga dari buku ini. Saya mendapatkan banyak pengetahuan dari karya intelektual Islam yang pernah menjadi Rektor IAIN Walisongo semarang ini.
Secara personal saya hanya sekali saja bertemu beliau. Tahun 2004 saya mendapatkan tugas dari kampus ke sebuah acara di Yogyakarta. Saat itulah saya bertemu secara langsung dan mendengarkan ceramah beliau. Luar biasa, saya mendapatkan inspirasi dari ceramah yang beliau sampaikan. Pengetahuannya luas dan disampaikan secara terstruktur. Sepintas saya menyimpulkan bahwa aspek itulah yang—antara lain—membuat beliau memiliki kewibawaan sebagai seorang intelektual.
Prof. A. Qodri Abdillah Azizy, Ph.D kini telah almarhum. Beliau meninggal dunia beberapa tahun lalu. Tetapi ada yang dapat terus kita nikmati, yaitu karya tulis yang beliau tinggalkan. Karya tulis lebih abadi dibandingkan jasad penulisnya. Sepanjang tulisannya masih ada, baik dalam bentuk fisik atau elektrik, ia akan selalu bisa dibaca, dinikmati, dan diapresiasi dari generasi ke generasi. Tidak hanya dalam hitungan tahun, tetapi bisa sampai hitungan abad.
Selain buku yang saya sebut di awal tulisan ini, saya memiliki beberapa buku lain karya Prof. Qodri. Buku tersebut adalah Membangun IAIN Walisongo ke Depan (Semarang: Gunungjati, 2001). Sebagaimana bisa dicermati sepintas dari judulnya, buku ini berisi tentang pemikiran Prof. Qodri sebagai Rektor IAIN Walisongo kala itu. Ada ide, gagasan, refleksi, pengalaman, strategi, dan berbagai aspek penting yang beliau tulis selama menjadi rektor. Buku ini penting dibaca dalam kerangka memperkaya perspektif kepemimpinan.
Karya beliau yang lainnya adalah Reformasi Bermadzab (Jakarta: Teraju, 2006). Buku ini masuk kategori Best Seller. Buku yang saya miliki sudah cetakan yang kelima. Cetak yang berulang kali menunjukkan bahwa buku ini telah mendapatkan perhatian yang cukup luas dari masyarakat.
Buku yang diedit oleh Dr. Muhammad Zain, M.A. ini memang cukup menarik. Prof. Qodri terlihat secara matang menampakkan dirinya sebagai ilmuwan hukum Islam yang mumpuni. Beliau membahas secara detail tentang madzhab, ijtihad, dan pengembangan hukum Islam. Berbagai alternatif pendekatan dengan mempertimbangkan perkembangan keilmuan modern menjadikan buku ini menampilkan sisi lain yang berbeda. Justru karena itulah buku ini menjadi menarik dan aktual.
Satu lagi buku beliau yang saya miliki adalah Melawan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Sebagaimana buku-buku beliau yang lainnya, buku ini juga cukup laris di pasaran. Gagasan pokok buku ini adalah bagaimana umat Islam tidak gagap dan hanyut dalam menghadapi arus globalisasi. Globalisasi telah menjadi realitas yang tidak mungkin dihindari oleh umat Islam. Aspek mendasar yang seharusnya dikembangkan adalah menghadapinya secara bijak.
Penguatan karakter, peningkatan kualitas manusia, dan peningkatan berbagai kemampuan mendasar sebagaimana yang telah dikembangkan oleh negara-negara modern menjadi aspek mendasar yang ditegaskan Prof. Qodri. Beliau merasakan betul bahwa tanpa strategi jitu dan usaha keras meningkatkan kualitas umat, globalisasi akan menjadi ancaman bagi umat Islam. Pada titik inilah buku tersebut memiliki signifikansi yang tinggi untuk dibaca dan diapresiasi.
Ada beberapa buku lagi yang pernah saya baca dari karya tulis Prof. Qodri. Sayangnya buku-buku tersebut tidak saya miliki. Saya menemukannya di perpustakaan.
Satu hal mendasar yang ingin saya tegaskan dalam catatan ini bahwa warisan intelektual dalam bentuk buku sebagaimana yang dilakukan oleh Prof. A. Qodri Azizy sangat penting artinya. Warisan intelektual lebih awet dan abadi. Kita yang sudah tidak bisa lagi bertemu secara fisik dengan beliau masih bisa terus menikmati pemikiran-pemikiran beliau. Karena itu penting untuk disebarkan spirit menulis sebagai bahan untuk warisan intelektual.
Sebagai warga kampus, menulis tampaknya memang harus terus dibudayakan sebab melalui menulis, ide yang kita kembangkan lebih awet. Selain itu, konsumennya pun jauh lebih luas menembus batas-batas geografis dan waktu. Berbeda dengan tradisi oral yang hanya bertahan sejenak dan memiliki tingkat keawetan yang tidak terlalu lama. Jadi, mari budayakan tradisi menulis. Salam.