Written by Ngainun Naim
Kamis, 08 Mei 2014 13:35
Print

Manusia adalah makhluk sosial. Hal ini bermakna bahwa manusia itu tidak bisa hidup seorang diri. Ia bisa hidup secara sempurna dari kehadiran orang lain. Keberadaan orang lain adalah kesatuan yang melengkapi dan memperkaya kehidupan. Fitrah sebagai makhluk sosial ini menjadikan kehadiran orang lain selalu menghiasi hari-hari setiap orang, bahkan pada saat sendirian sekalipun. Walaupun secara fisik sendirian, sesungguhnya memori dan impian akan orang lain selalu menjadi bagian yang tidak terpisah.

Berangkat dari posisi sebagai makhluk sosial ini, maka hal mendasar yang seharusnya dilakukan adalah memperlakukan orang lain sebaik mungkin. Orang lain yang diperlakukan secara baik akan menjadikan kita juga diperlakukan secara baik oleh orang lain. Saling memperlakukan secara baik ini penting artinya untuk membangun kehidupan sosial yang rukun, damai, dan harmonis. Sebaliknya, ketika orang lain diperlakukan secara tidak baik, implikasi ketidakbaikan itu juga akan kembali kepada kita. Karena itu, jika kita ingin diperlakukan secara baik oleh orang lain maka hal penting yang juga harus kita lakukan adalah marilah melakukan hal baik kepada orang lain.

Menyadari kehadiran orang lain itu ternyata tidak mudah. Banyak di antara kita yang terjebak ke dalam sikap egois. Merasa diri penting, mengabaikan kehadiran orang lain, dan meremehkan kehadiran yang lain.

Secara filosofis, orang yang tidak bisa menerima dan menghargai keunikan orang dan tidak mampu lebur dalam proses dialog dengan orang lain adalah orang yang gagal memahami diri dan sesamanya. Orang yang mampu memahami dirinya sendiri pasti akan bisa menerima dan menghargai keunikan orang lain. Ia akan banyak belajar mengenai arti dan makna orang lain. Ia akan terus berusaha menjadikan orang lain sebagaimana dirinya sendiri.

Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus. Dalam dialog seseorang akan memberi dan menerima. Untuk bisa melakukan dialog secara dewasa dan produktif tentu saja diperlukan kesabaran, pengalaman, kepercayaan diri serta kematangan pribadi. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari masing-masing partisipan tidak akan ada kesediaan untuk membuka diri, kesediaan saling memberi dan menerima secara sukarela dan antusias.