Selasa, 24 November 2015 14:50
Print

(Tulungagung) Akhir-akhir ini semakin banyak produk keuangan dan juga bisnis yang berlabel syari’ah, mulai dari perbankan syari’ah, asuransi syari’ah dan bahkan bisnis-bisnis lain yang mengatasnamakan sebagai usaha yang menggunakan sistem syari’ah. Diakui ataupun tidak, lambat laun seiring dengan perkembangan tersebut maka timbul problem dan persoalan yang berpotensi menjadi sengketa, meskipun belum sekompleks dalam bisnis dan produk keuangan konvensional. Maka dari itu kemudian perlu adanya sebuah lembaga pemerintah yang bisa menjadi mediator atau memfasilitasi sengketa-sengketa tersebut. Pengadilan Agama adalah institusi yang tepat mengambil peran tersebut.

Untuk memberikan pengetahuan dan memperluas wacana bagi mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah mengenai sengketa bisnis syari’ah tersebut, HMJ Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum (FASIH) IAIN Tulungagung menyelenggarakan seminar yang bertema “Sengketa Bisnis Syari’ah di Pengadilan Agama”. Seminar yang digelar pada Selasa, 24 November 2015 di Aula Utama IAIN Tulungagung tersebut menghadirkan narasumber H.M. Darin Arif Mu’allifin, S.H., M.H, Wakil Dekan 3 FASIH IAIN Tulungagung dan H. Ma’arif, S.H. M.Hum, salah satu advokat dan praktisi hukum terbaik di Tulungagung.

Dalam prolognya, H.M. Darin Arif Mu’allifin, S.H., M.H menjelaskan, bahwa sebenarnya dalam hal apapun termasuk di dalam dunia bisnis tidak perlu ada sengketa yang harus sampai kepada sebuah persidangan. Karena pada prinsipnya sengketa seharusnya bisa diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

“Bahkan seharusnya sengketa pun tidak perlu terjadi bila dalam sebuah bisnis, apalagi yang berlabel syari’ah yang nota bene menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Jelasnya bila nilai-nilai keagamaan, dalam hal ini Islam terutama kejujuran dalam berbisnis, maka sebuah sengketa tidak perlu terjadi. Hanya saja karena adanya ketidakjujuran maka sengketa pun tidak bisa dihindari”, kata H.M. Darin Arif Mu’allifin, S.H., M.H.

Lebih lanjut Wakil Dekan 3 FASIH tersebut menjelaskan, dengan adanya sengketa dalam bisnis syari’ah tesebut bila tidak ada kata mufakat antara dua pihak atau lebih yang bertikai, maka harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Hal tersebut dilandaskan pada UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diperbarui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989.

Sementara itu, satu narasumber lain, H. Ma’arif SH, M.Hum. dalam prolognya lebih mengupas mengenai sisi historis Peradilan Agama. Dipaparkannya bahwa sebetulnya Peradilan Agama sudah ada sejak masa Kolonial Belanda. Namun dalam pelaksanaannya ketika ada putusan terkait sebuah persoalan harus mendapatkan rekomendasi dari Pengadilan Negeri, yang pada masa tersebut Pengadilan Kolonial Belanda.

“Namun sesuai dengan perkembangan zaman, pada akhirnya Peradilan Agama bisa terlaksana dengan mandiri, apalagi sekarang sudah ada undang-undang yang menaunginya. Jadi sudah selayaknya ketika terjadi sengketa dalam dunia bisnis, terutama bisnis syari’ah, maka harus diselesaikan di Pengadilan Agama”, tutur pria yang juga mengajar di FASIH IAIN Tulungagung dan Fakultas Hukum Universitas Tulungagung tersebut. (humas)