Artikel
|
Artikel
|
(Tulungagung) Pusat Pendidikan Hak Asasi Manusia dan Islam (PusdikHAMI) IAIN Tulungagung berkerja sama dengan Majelis Luhu Penghayat Kepercayaan Indonesian (LMKI) Provinsi Jawa Timur menyelenggarakan seminar bertajuk “Eksistensi dan Kontribusi Perempuan Penghayat terhadap Kebangsaan dan Kebhinnekaan” pada Minggu, 19 April 2015. Seminar diselenggarakan di Aula Rektorat IAIN Tulungagung.
Seminar dihadiri oleh tidak kurang 200 delegasi dari pelbagai komunitas dan paguyuban organisasi penghayat di seluruh Jawa Timur. Seminar dihadiri oleh Kasubdit Direktorat Penghayat Kepercayaan, Dra. Wigati, juga Ketua Presidium Pusat LMKI, Naen Soerjono, SH., MH.
Dalam kesempatan tersebut, Majelis Luhur Penghayat Kepercayaan Jawa Timur juga secara resmi mendeklarasikan berdirinya organisasi Perempuan Penghayat. Ini merupakan organisasi otonom di bawah MLKI yang secara khusus mengemban misi pembedayaan perempuan penghayat.
Dr. Maftukhin, Rektor IAIN Tulungagung, ikut memberi sambutan dan diberi penghormatan untuk membuka acara seminar dan deklarasi tersebut. Dalam sambutannya, Rektor IAIN menegaskan bahwa IAIN merupakan institusi yang mengemban misi Islam rahmatan lil ‘alami. Berpijak pada misi tersebut, maka IAIN bersikap terbuka untuk membuka komunikasi dengan semua elemen bangsa. “IAIN terbuka bagi siapa saja karena lembaga ini mewakili semangat toleransi Islam Nusantara,” tegas Rektor IAIN.
Seminar menghadirkan tiga pembicara yang mengupas secara mendalam masalah eksistensi dan kontribusi perempuan penghayat. Ketiga nara sumber adalah: Direktur PudikHAMI IAIN Tulungagung, Akhol Firdaus, yang menyampaikan tema “mata rantai diskriminasi terhadap perempuan penghayat dan upaya rehabilitasi”; Presidium Majelis Luhur JawaTimur, Dr. R. Otto BambangWahyudi, menyampaikan tema “kiprah perempuan dalam organisasi penghayat: sejarah dan dinamikanya”; Direktoral Penghayat, Dra. Wigati, yang membawakan tema “peran sosial, ekonomi, politik perempuan penghayat dan kontribusinya bagi Kebangsaan dan Kebhinnekaan Indonesia”.
Dalam sesi seminar, Akhol Firdaus menegaskan bahwa perempuan penghayat merupakan kelompok yang berada di mata rantai terakhir diskriminasi terhadap penghayat di Indonesia. Meski begitu, perempuan juga telah terbukti mampu menjadi kekuatan yang menjadi faktor kunci lestarinya ajaran penghayat sampai saat ini. Hal ini karena aspek soft power yang dimiliki perempuan telah menjadi faktor kunci bagi kekuatan komunitas penghayat dalam mempertahankan eksistensinya.
Sementara itu, Dra. Wigati juga menekankan tentang pentingnya bagi perempuan penghayat untuk menegaskan eksistensinya. “Perempuan penghayat tidak perlu lagi mengakui sebagai penghayat. Perempuan justru harus tampil dan membuktikan diri sebagai kekuatan yang ikut mewarnai kebangsaan Indonesia”. (muhib/pusdikhami)